Misteri Perempatan Kalianget, Seririt, Buleleng

Picture
Kebo Gaib Melintas Makan Korban Jiwa

Seringnya terjadi kecelakaan yang menyebabkan banyak nyawa melayang secara sia-sia tanpa sebab yang pasti di Perempatan Desa Kalianget, Buleleng, menggelitik wartawan TBA untuk menelusuri lebih jauh misteri di balik fenomena itu. Informasi yang dihimpun, ternyata semua peristiwa itu tidak terlepas dari keberadaan Kebo Gaib Hitam yang sering melintas di perempatan itu. Bagaimana kegaiban selem tersebut? Berikut informasi selengkapnya.
    Sepintas, perempatan di Desa Kalianget, Kecamatan Seririt, tepatnya di jalan utama jurusan Singaraja-Seririt, Buleleng tidak tampak istimewa.  Perempatan ini tidak bedanya seperti perempatan pada umumnya. Namun, jangan salah terka, terutama bagi mereka yang mempunyai kekuatan bathin tinggi. Ternyata perempatan yang hanya biasa-biasa bagi orang kebanyakan, merupakan pelintasan ancangan Ida Bhatara di Pura Anyar (Pura Jaya Prana). Ancangan beliau disebut-sebut Kebo Gaib  Hitam menuju kandangnya yang berada tak jauh di utara perempatan yang kini dikenal dengan nama Pura Kandang. Pernyataan itu terungkap dari salah satu warga Desa Kalianget I Putu Nesa.
    Disebutkan Putu Nesa, di perempatan ini kerap kali terjadi kecelakaan maut,  tak sedikit  korban jiwa yang telah menjadi tumbal ketengetan perempatan ini. Apabila krama datang dari arah timur (dari kota Singaraja) menuju ke Kota Seririt, akan melewati perempatan ini. Di sebelah kiri perempatan terdapat satu buah palinggih Pengayatan Ida Bhatara di Pura Jaya Prana yang berada kurang lebih satu kilo meter arah selatan perempatan itu. Di samping palinggih pengayatan itu, nampak patung macan selem dibalut dengan kain poleng menambah angkernya suasana.
    Patung macam ini, sebagai perwujudan ancangan Ida Bhatara penguasa perempatan itu. Kebo Duwe yang sering melintas di perempatan ini dikenal ganas dan tak kenal ampun. “Setiap melewati tempat ini, tiang sarankan agar tidak lupa ngaturang rarapan, atau sekadar membunyikan klakson kendaraannya, guna terhindar dari hal-hal yang dapat mengancam keselamatan jiwa, dan selamat sampai di tujuan,” harap pria murah senyum ini saat ditemui di rumahnya belum lama ini.
    Konon, tutur Nesa,  Kebo Duwe ini pernah menampakkan wujudnya ketika dilaksanakan upacara palebon Ida Bhatara Nyoman Jaya Prana  di Pura Anyar Jaya Prana.  Saat itu, daging Kebo sudah sangat menipis sedangkan undangan semakin banyak yang datang.  Akhirnya krama desa memohon kepada Ida Bhatara agar ada orang yang mapunia Kebo. Salah satu dari warga itu, mendapat pawisik yang mengatakan, besok paginya krama disuruh datang ke pinggir pantai, karena akan datang seekor Kebo dengan ciri-ciri kulit hitam, dan kepalanya diikat ilalang.
    Keesokan harinya, ketika krama datang ke tempat yang dimaksud, memang benar menemukan kebo berjalan dengan pelan-pelan dari barat, dengan kepala diikat ilalang. Kesempatan itu tidak disia-siakan oleh warga, dengan berbekal peralatan seadanya kebo itu mulai digiring ke tempat yang dirasa tepat dan mudah untuk menangkap kebo itu. Warga pun saat itu menyebar termasuk Jro Nesa mencari posisi masing-masing agar kebo itu tidak sampai terlewat jauh ke timur.  
    Begitu kebo itu hendak ditangkap oleh salah satu warga, tiba-tiba kebo itu menghilang di balik pohon kayu santen yang tidak terlalu besar.  Sontak saja krama itu dibuat tercengang dan terheran-heran. Jika dipikir secara logika, memang tidak masuk akal, hanya terhalang pohon kayu santen yang tidak terlu besar, kebo itu bisa lenyap tanpa bekas, entah ke mana perginya. “Siapa yang tidak heran, kalau kebo yang diyakini kebo beneran, menghilang secara gaib begitu saja,” babar Jro Nesa tidak habis pikir. Salah satu warga sangat yakin, kebo itu bukan kebo sembarangan, melainkan Kebo Duwe.
    Akhirnya, dengan tangan kosong warga kembali ke rumah masing-masing. Selanjutnya keesokan harinya, tiba-tiba entah dari mana datangnya, banyak orang yang maturan kebo hingga jumlahnya 40 ekor. Sampai-sampai jumlah kebo itu melebihi dari yang diperlukan. “Mungkin penampakan kebo misterius itu sebagai cihna, Ida Bhatara memberikan kebo sebanyak yang ada dari punia, semua warga pun sangat yakin, kalau Kebo misterius itu hanya memberikan cobaan kepada kami semua,” Jro Nesa menduga-duga apa yang telah terjadi.
Baca lebih lengkap di Edisi 23 tahun 2009
Reporter dan Foto : Andiawan

Pekak Selob Engkebang Mamedi

Picture
Dilacak Tabuh Bleganjur, Memedi Goyang-goyang

Pagi-pagi sekali Nengah Selob sudah menempati rumah baru yang begitu megahnya. Namun hal ini tidaklah berlangsung lama, karena lokasi itu ada di rumah niskala hak milik  Mamedi (makhluk halus) untuk menghukum si kakek. Kenapa Pekak Selob dihukum mamedi?
    Kasus terjadinya sebuah penculikan kini sudah merebak di berbagai daerah di Indonesia tak terkecuali Bali. Di Bali selain ada kasus kehilangan akibat penculik meminta tebusan berupa uang, tapi  ada juga hilang akibat disembunyikan Mamedi. Contohnya saja kejadian yang baru beberapa waktu lalu ini terjadi di Banjar Bandung, Desa Gunaksa, Dawan, Klungkung.
    Nah bagaimana ceritanya, mungkin ini cerita yang cukup menggelikan di mana biasanya anak kecil yang diambil oleh mamedi namun ini lain. Yang diculik malah seorang kakek-kakek, kok bisa?
    “Awalnya, saya sedang keluar sebentar untuk buang air kecil,” kata Nengah Selob (65) selaku orang yang disembunyikan memedi ini, ketika disambangi di rumahnya Rabu kemarin. Yang banyak bercerita di sini adalah Nyoman Citri (50) istri dari pada korban penculikan. Dia menyebutkan suaminya ini pada malam Senin lalu, mungkin agak capek dia terus ngumik (bicara tiak jelas) apalagi salah seorang cucunya yang sudah bersekolah di bangku SD kelas lima, sedang ngambek dan terus menangis. Malahan dia (kakek) ikut-ikutan memarahi cucunya yang rewel ini.  Nah,  pada pukul 04.00 WITA dini hari, suaminya ini keluar untuk buang air kecil di barat dapurnya. Namun entah ke mana dia tidak muncul-muncul lagi.
    “Waktu itu saya memang buang air, namun setelah bangun merasa berada di tengah sebuah bangunan rumah yang cukup megah,” timpal Selob. Di sana dia ditunggui oleh seorang perempuan yang sudah tua. Dengan rambut terurai berantakan, pakaian agak lusuh dan wajahnya sama dengan manusia.

Lalu, setelah tidak diketemukan sampai pagi, akhirnya seluruh keluarga dan tetangga gempar. Keluarga yang tinggal di kota (Semarapura) pun ditelpon, untuk memastikan keberadaan si kakek yang sudah menghilang ini. Saat engkebang mamedi ini, si kakek mengenakan baju hitam dengan celana hitam pendek.
    Selanjutnya, dengan sudah tidak diketemukannya suaminya ini, ditanyakanlah kepada seorang jero tapakan dan disebutkan suaminya masih ada dekat-dekat rumahnya dan belum pergi begitu jauh. Hingga akhirnya berbekal kejadian ini akhirnya dia pun nunas piuning di pura.
    Belum juga datang hingga pukul 12.00 WITA. Kembali lagi menanyakan kepada orang pintar lainnya. Di sana disebutkan, Nengah Selob sedang duduk di sebuah gubuk kecil di atas sebuah batu. Di sana adalah sebuah perumahan dari pada mamedi.
    Disebutkan juga, kakek ini diempu oleh empat orang yakni seorang wanita tua, seorang lagi laki dengan badan besar kelihatan sangar dan dua lagi adalah anak-anak. Merunut hal ini, akhirnya krama banjar pun diturunkan untuk turut serta mencari si kakek ke tengah sungai kecil (sungai Sangsang). Dengan perlengkapan baleganjur dibawa oleh mereka. Berusaha menemukan si kakek ini. Namun apa yang terjadi, menurut penuturan Citri, nenek mamedi ini ketika dibawakan gong malah ikut-ikutan menari (disebutkan oleh orang yang ikut mencari pada saat itu yang kebetulan mengetahui akan hal seperti ini-red). Dan si kakek dipegang hanya dengan satu genggam saja.
    Kemudian gamelan pun dihentikan dengan digantikan oleh belek (ember dari seng) yang dipakai gamelan,  akhirnya nenek memedi inipun lari tunggang langgang ketakutan. Si kakek pun pulang diantar anak-anak kecil di niskala tadi. Pulangnya si kakek ini tepat jam tujuh malam.
    Apa yang dilakukan si kekek dialam niskala? Selob mengakui pada saat di sana, dia disalahkan karena telah memarahi anak kecil yang sudah menangis. Untuk membuat kapok maka disembunyikanlah si kakek ini. Pada initinya nenek tua (mamedi-red) ini tidak senang jika ada yang menyakiti orang kecil apalagi membuat menangis anak kecil saat malam hari. Di sana juga dia dipegang oleh orang besar dan ditunggui dua anak kecil. Menurut istrinya lagi, suaminya ini orangnya melik, dulu juga sempat disembuyikan oleh mamedi ini.

Baca lebih lengkap di edisi 22 tahun 2009
Reporter dan Foto : Budikrista

Beji Pura Luhur Batu Panas, Penebel

Picture
Diyakini Sembuhkan Penyakit
Beji pura yang satu ini, tidak hanya disakralkan, juga menjadi tempat Ida Bhatara masucian. Di sisi lain, air panas yang ada di Beji, juga diyakini menyembuhkan berbagai penyakit. Salah satunya stroke, berikut ulasannya. 
    Adanya tempat pasucian di pura yang lebih dikenal dengan beji merupakan suatu yang biasa dan memang sepatutnya ada. Namun yang tidak biasa jika ternyata beji tersebut merupakan sumber air panas. Keunikan ini terjadi di Beji Pura Luhur Batu Panas yang ada di Banjar  Belulang, Desa Mengesta, Kecamatan Penebel, Tabanan.
    Untuk menuju beji ini tidaklah sulit, meski perjalanan yang ditempuh cukup menantang dengan jalanan kecil yang berliku dan sedikit rusak. Nampaknya bukan itu yang mejadi penghalang, berkat kesembuhan terlihat jelas sehingga orang-orang dari berbagai daerah yang menginginkan kesembuhan, rela memburu tempat ini.
    Jelas terlihat betapa panasnya air tersebut, pada bulakan tempat air berwarna kemerahan terkena air yang mengandung belerang. Namun ini pula yang mendatangkan manfaat bagi masyarakat,  banyak warga dengan berbagai keluhan penyakit datang untuk memohon air tersebut sebagai tamba.
    Mata Air Panas dalam satu kolam kecil  yang berdiameter  60 cm ini konon mengisahkan pertemuan Sanghyang Pasupati yang berstana di Gunung Agung  dengan Hyang  Tumuwuh yang berstana di  Gunung Batukaru. Karena tempatnya berada di dalam areal beji pura sehingga warga tidak bisa keluar masuk sembarangan. Jika ingin nunas tamba, wajib menghubungi pemangku terlebih dahulu. Air panas ini dialirkan menjadi beberapa pancuran, ke satu kolam kecil, dan satu lagi ke kolam sedang.
    Untuk memenuhi kebutuhan warga sehari-hari, di luar beji pura dibuatlah suatu permandian umum yang selalu ramai. Karena keindahan alamnya pula, tempat ini dijadikan objek wisata, sehingga tidak heran jika berkunjung ke tempat ini banyak bule yang berkeliaran menikmati keindahan wilayah sekitar pura, sejauh mata memandang terlihat pohon-pohon hijau dan hamparan sawah yang luas.
    Masyarakat percaya, permandian umum tersebut juga mampu memberikan kesembuhan. “Dumun wenten nak lingsir (sulinggih) rauh mariki sareng iringan, Ida makayunan nunas tamba. Kocap sampun suwe keni stroke. Wawu matamba ping tiga sampun akeh perubahanne, tangan Ida sampun ten kaku,” papar Mangku Sri, pemangku Pura Batu Panes.
    Menurut pemangku, jika memang Beliau berkehendak maka tidak memerlukan waktu yang lama untuk merasakan kesembuhan setelah nunas tamba di beji ini. Seperti seorang sulinggih yang diceritakan oleh pemangku hanya datang tiga kali beliau sudah sembuh, tangan yang awalnya telah kaku akhirnya bisa digerakkan.
    Berbagai keluhan penyakit terbukti bisa disembuhkan, selain stroke juga kelumpuhan, berbagai penyakit kulit, dan lain-lainnya. “Yening keni gatel ten perlu ke dokter, sami driki warga mesiram ring pancoran saget sampun ilang gatel punika,” ungkap Mangku Sri.
    Berbagai keunikan sempat terjadi di Kahyangan ini. Pada waktu Pemerintah Daerah Tabanan  melaksanakan  Tulak Merana Gumi, yang direncanakan dilaksanakan di Pura Luhur Petali (Jatiluwih), oleh pemangku yang lagi kerahuhan menolak pelaksanaaannya disana. Dari pawuwus diberitahukan agar mencari kahyangan yang pemedalnya menghadap Barat Daya. Satu-satunya adalah di Luhur Batu Panes.
    “Banyak orang-orang datang berobat, khususnya mereka yang kena stroke dan penyakit kulit, tidak dari Bali saja, juga datang dari Lombok, sengaja datang ke Bali karena mimpi disuruh berobat ke Pura di Bali yang mempunyai Beji Air panas.  Penyakit strokenya sudah menahun, dan akhirnya sembuh,” ungkap salah seorang warga yang kebetulan mandi pada pancoran umum tersebut.

Reporter n Photo : Putu Patra