Pura Dalem Suka Mertha, Sanur-Denpasar

Picture
Pusat Mertha lan Genah Mohon Pasugihan
Anda ingin cepat kaya? Cobalah tangkil ke Pura Dalem Suka Mertha yang berlokasi di Banjar Belanjong, Desa Pakraman Intaran, Sanur, Denpasar Selatan. Asalkan bersedia menerima  semua persyaratan yang ditentukan. Beberapa syarat yang harus dipenuhi di antaranya Guling Buntut (tumbal manusia), penyakit bisul yang tidak kunjung sembuh dan sangat menyiksa selama hidup serta peryaratan yang tak kalah dahsyatnya.

    Pura Dalem Suka Merta, itulah nama sebuah pura yang berlokasi di tengah hutan bakau. Pura ini letaknya berdekatan dengan Pura Dalem Pengembak yang juga dikenal sangat angker ini. Pura Dalem Suka Merta memiliki keterkaitan dengan beberapa pura yang ada di wilayah itu seperti Pura Dalem Pengembak, Pura Mertasari dan pura lainnya. Mencapai lokasi pura ini tidaklah sulit.
    Kini telah dibuatkan jalan cukup lebar dengan kondisi dihotmix menyusuri sungai. Sungai ini merupakan tempat para penghobi mancing. Apabila sore hari bisa menyaksikan puluhan orang berjejer lengkap dengan pancingnya masing-masing.
    Setelah sampai di jembatan menuju Pura Dalem Pengembak, perjalanan langsung berbelok ke kanan melewati jembatan kecil, masuk ke dalam hutan bakau menyusuri jalan setapak yang telah dipaving, namun perlu berhati-hati karena kondisi jalan sedikit rusak.
    Begitu sampai di lokasi pura, pamedek akan merasakan getaran dan aura gaib yang sangat kuat. Maklum tempat ini dijaga ratusan makhluk gaib dan selalu mengawasi setiap orang yang datang ke tempat ini. Mereka yang berani berbuat senonoh, maka penjaga kawasan ini tidak segan-segan memberi peringatan bahkan pelajaran dengan caranya sendiri.
    Karena pura ini berada di dalam lingkungan hutan bakau, sehingga udaranya sangat sejuk, nyaman, dan jauh dari kebisingan, terlebih pada malam hari, yang terdengar hanya suara binatang malam. Tidak salah bila sebagian besar penekun spiritual memilih tempat ini sebagai tempat melakukan lelaku spiritualnya.
    Kicauan burung dan desiran angin, akan menghapus segala kepenatan dan beban pikiran setelah keseharian disibukkan dengan tugas masing-masing. Pantauan TBA, lokasi pura ini dibagi atas tiga bagian. Di mana setiap bagian memiliki fungsi dan getaran gaib yang berbeda.
    Hingga kini sejarah keberadaan pura ini tidak ada yang mengetahui dengan jelas, bahkan Jro Abian Timbul sebagai pewaris sekaligus pengemong pura ini, juga tidak jelas mengetahui. Sebab, sejarah keberadaan pura ini tidak ada dituangkan baik berupa prasasti maupun lontar. Seperti diungkapkan AA Kompyang Raka,S.H
    Lebih lanjut anggota Komisi A, PDIP bidang Pemerintahan, DPRD Kota Denpasar ini mengatakan, hingga saat ini sejarah yang menguatkan keberadaan pura ini belum ditemukan, baik yang tertulis di dalam lontar maupun prasasti. Melainkan hanya melalui cerita masyarakat yang berkembang secara turun-temurun.
    Cerita yang berkembang selaman ini di masyarakat. Di mana, konon  tempat itu dikatakan digunakan untuk mengubur harta benda milik puri berupa uang kepeng yang telah membusuk. Namun, kebenaran cerita itu diragukan oleh pihak puri sebagai pewaris sekaligus pengempon pura itu.
Baca lebih lengkap edisi 23 tahun 2009Reporter & Foto  : Andiawan

Pura Luhur Hyang Api, Desa Adat Samuan, Petang

Picture
Berdiri  sebelum Adanya Kahyangan Tiga di Bali

Adanya Pura Luhur Hyang Api Desa Adat Samuan, Petang, Badung, mencirikan usia desa sangat tua. Begitu juga berdirinya Pura Hyang Api telah ada sejak dulu kala, sebelum kahyangan tiga ada di Bali. Juga di kahyangan ini ada berbagai kegaiban serta Ida Bhatara menyimpan banyak panugran. Apa saja keanehan dan panugran  Ida Bhatara Hyang Api? Berikut ulasannya.

    Menelisik  desa-desa yang ada di Bali,  ternyata masih banyak ditemukan kahyangan yang belum diketahui umat secara umum. Mungkin lokasinya tersembunyi atau sama sekali belum tersentuh media. Salah satu kahyangan yang unik adalah Pura Luhur Hyang Api, berlokasi di Desa Adat Samuan, Petang, Badung.
    Sebelum mengetahui lebih jauh, bagaimana keberadaan kahyangan yang satu ini, baiklah diketahui dulu bagaimana bisa sampai ke lokasi. Pura Hyang Api, memang berada di Desa Adat Samuan. Hanya saja, letak puranya berada bukan di jalan utama. Walaupun Desa Samuan sebagian berada di pinggir jalan utama, masih banyak krama desa menghuni desa masuk ke tengah, tapi kondisi jalannya cukup bagus. Sebut saja Samuan Kangin, membentang dari utara ke selatan di bagian timur jalan utama.
    Untuk bisa sampai ke Pura Hyang Api, bisa ditempuh dengan dua jurusan. Pertama bisa dari jalan jurusan Denpasar-Petang, dan kedua bisa melalu jalan dari Taman Punggul, melalui jalan Desa Selat ke utara. Kalau melalui jalan Jurusan Denpasar – Petang, ada perempatan jalan, belok kanan dari arah Denpasar, di depan balai banjar Samuan Kangin kembali belok kanan. Kurang lebih 200 meter akan ditemukan papan nama dengan tulisan Pura Hyang Api, Desa Adat Samuan.
    Sepintas, lokasi pura agar kecil,  lahannya kurang lebih 5 are. Tata letak pura terdiri dari dua bagian dan dua mandala. Pertama dua bagian di maksud, di sisi kanan ada lagi pura yang disebutkan bhagawantanya, sementara di sisi utaranya adalah Pura Hyang Api yang hanya dipisahkan tembok panyengker yang tidak begitu tinggi. Begitu juga dua mandala dimaksud adalah utama mandala dan madya mandala. Di madia mandala terdapat satu wantilan berada di tengah-tengah. Kondisi pura secara fisik cukup megah, dan secara niskala diyakini menyimpan berbagai keunikan, kemagisan dan kegaiban yang sering terjadi.
    Sementara pura ini juga memiliki lahan laba sekitar 45 are, diempon krama Desa Adat Samuan, terdiri dari 163 kk pangarep, dan disiwi oleh semua krama desa setempat. Itulah sedikit kondisi pura yang boleh dikatakan agak sempit. Bila dibandingkan dengan jumlah penduduk Desa Samuan. Mungkin saja tidak berimbang untuk menampung pamedek, terutama saat pujawali.
    Diceritakan Jro Mangku Putu Sumber Jaya, salah satu jan banggul yang dipercaya oleh pangemong pura untuk menjadi pamangku mengakui, tidak ada sejarah secara tertulis. Cerita tentang adanya kahyangan mungil ini, terurai dari generasi ke generasi.
    Dijelaskan Jro Mangku yang masih muda usia tapi berpengalaman luas selama ngayah, Pura Hyang Api boleh dikatakan sangat unik. Pasalnya, berdirinya pura ini mencirikan/sebagai cihna desa ini salah satu desa yang sangat tua di Bali. Termasuk berdirinya pura ini diyakini sangat tua sekali, setua adanya desa ini.

Baca lebih lengkap edisi 22 tahun 2009
Reporter dan Foto : Putu Patra
 

Pura Dalem Betawi, Jumpayah, Mgitani

Picture
Lokasi Bekas Setra Puri Mengwi

Pura yang jumlahnya ribuan di Bali, ternyata masih ada salah satu pura yang belum dikenal umat Hindu di Bali. Padahal kahyangan ini banyak memberikan berbagai anugerah, seperti mohon taksu madagang, pengobatan, mohon keturunan, menjadi balian dan taksu lainnya. Uniknya, lokasi pura disebut bekas setra Puri Mengwi. Berikut hasil liputan wartawan Bali Aga.

    Pura di Bali tidak terhitung jumlahnya dengan beragam status serta pangemponnya. Memasuki Banjar Jumpayah, Mengwitani, Mengwi, Badung,  melewati gang-gang kecil terdapatlah sebuah pura yang erat kaitannya dengan Taman Ayun dan Puri Mengwi. Pura dengan dua mandala dan lokasi di pinggir gang ini bernama Pura Dalem Betawi memiliki berbagai keunikan. Jangan dilihat lokasinya yang kecil, namun pamedek serta keyakinan pada Beliau sangat besar, ini telah terbukti anugerah yang diberikan terutama kepada pedagang.
    Tidak diketahui secara pasti angka tahun pura ini berdiri. Menurut Ir. Mangku Made Karda, pemangku Pura Dalem Betawi, pura ini telah ada saat pembuatan Taman Ayun oleh seorang arsitek Cina. Setelah menyelesaikan pembuatan Taman Ayun, sebelum kembali ke Tanah Jawa, ia memohon petunjuk ke pura ini, ke arah mana sebaiknya melangkah. Dengan demikian dapat diperkirakan pura ini telah ada pada zaman tersebut.
    Adanya sejarah lokasi pura pada zaman dahulu merupakan setra Puri Mengwi, masih ada bukti-bukti keberadaannya hingga kini pada radius pura bagian timur laut masih terdapat palinggih yang oleh pangempon pura sangat disakralkan. Tempat berdiri pelinggih tersebut dulunya tak lain adalah setra rare (setra bajangan) khusus untuk menguburkan anak kecil
    Pada saat itu sebagai padukuhan, dan telah berupa pura, tempat ini sepi, penduduknya sangat jarang. Kehidupan masyarakat cenderung berkelompok pada tempat yang jauh di luar tempat ini. Namun keajaiban terjadi. Secercah sinar membawa harapan baru, tempat yang tadinya jarang didatangi  orang, belakangan  menjadi ramai. Munculnya sinar yang masuk menuju lokasi pura dan disaksikan oleh masyarakat menyebabkan mereka terpanggil untuk menghaturkan sembah bakti kehadapan Beliau. Masyarakat semakin mendekat kepada-Nya, hingga kini pamedek selalu mengalami peningkatan.
    Ida Bhatara yang berstana di Pura Dalem Betawi diyakini memberikan kesidhian (taksu) medagang (pasaran). Tidak heran jika banyak pedagang dari berbagai daerah yang rajin menghaturkan bhakti di sini. Karena keyakinan yang dimiliki, mendapatkan peningkatan dalam berjualan adalah atas anugerah Beliau sehingga setiap saat selalu menghaturkan canang maupun rarapan sebagai ungkapan syukur. Memang sudah banyak yang membuktikan, pedagang-pedagang mendapat taksu pasaran di sini.
    Selain taksu dagang, Ida Sasuhunan juga matamban memberikan berkat kesembuhan bagi umat yang dalam kesusahan. Pemangku mengungkapkan, memang tidak ada sarana khusus sebagai obat, selain wangsuhan tirta dari Ida Sasuhunan serta jika diperlukan diberikan babakan jepun yang ada di pura, diyakini mampu memberikan kesembuhan. Bukan hanya orang dari Banjar Jumpayah yang meyakininya, orang dari luar banjar ini juga banyak yang mendapatkan berkah dari memohon di pura ini.
Baca lebih lengkap edisi  20 tahun 2009
Reporter & Foto : Ida Ayu Made Sadnyari


Pura Windu Segara, Kesiman Denpasar Timur

Picture
Bersatunya Kekuatan Siwa-Budha
Pura Campuhan Windu Segara itulah nama sebuah pura yang sebagian penekun spiritual diyakini tempat bersatunya kembali kekuatan Siwa-Budha, yang selama ratusan tahun tenggelam. Terbukti dari pamedek yang datang dari berbagai daerah, soroh, status ekonomi, serta agama yang berbeda. Ida Bhatara yang malinggih di sini sangat pemurah, sebagian besar pamedek yang percaya mendapat anugerah yang diinginkan sebelumnya. Bagaimana asal muasalnya  pura ini terwujud dan kekuatan apa saja yang ada di pura ini? Berikut hasil liputannya.

    Bila dilihat sepintas, tidak ada yang istimewa di pura yang berlokasi di pinggir loloan Sungai Ayung ini. Tetapi tidak demikian bagi penekun spiritual. Tempat ini merupakan Campuhan Agung yang dikenal sangat angker karena tempat ini memiliki aura magis yang sangat kuat.
    Di samping itu, tempat ini dijaga ribuan makhluk gaib dari berbagai jenis. Bahkan, sesuai hasil teropongan mata bhatin mereka yang ahli dibidang itu, mengatakan bahwa tempat ini merupakan kawasan suci yang mana secara niskala, di tempat ini berdiri sebuah pura besar dan sangat megah.
    Di sekitar pura itu terdapat sebuh taman yang sangat indah dan dijaga ancangan berupa buaya dan kura-kura putih serta di tengah taman itu tumbuh bunga teratai putih yang begitu ngelangenin.
    Sehingga tempat ini mampu memancarkan aura ketenangan, kesejukan dan kedamaian yang sangat tinggi. Sebagian besar mereka yang sebelumnya dibalut berbagai permasalahan, begitu berada di tempat ini akan merasakan ketenangan dan kedamaian. Terlebih mereka yang telah melakukan pelukatan (pembersihan) di Campuhan Agung dan Palinggih Bhatara Wisnu.
    Suara deburan ombak, seakan-akan melantunkan sebuah nyanyian yang mampu memecah kepenatan dan pikiran yang kalut. Pun, desiran angin pantai yang begitu lembut mampu menyapu semua permasalahan yang sedang dihadapi. 
    Karena tempat ini merupakan tempat menyatunya kekuatan Segara-Gunung, sehingga sangat baik untuk melakukan pelukatan(pembersihan) untuk menghilangkan sarwa mala (semua kekotoran) secara lahir- bhatin.
    Uniknya, pamedek yang dating ke tempat ini tidak hanya dari kalangan umat Hindu, melainkan  banyak dari umat lain percaya akan aura gaib/magis yang terpancar di tempat ini serta melakukan sembah bakti dengan berbagai tujuan. Sebagaian besar yang adatang ke tempat ini, sebelumnya mengalamai berabagai masalah mulai dari menderita suatu penyakit, masalah rumah tangga, bisnis, dan permasalahan lainnya.
    Mereka datang karena sebelumnya mendapat petunjuk gaib, baik dari hasil meluasang maupun lewat mimpi. Setelah dijalani mereka sembuh dari penyakitnya. Itu sebuah bukti kuat, bahwa kekuatan yang terpancar di pura ini sangat kuat, sepanjang orang yang bersangkutan percaya dan yakin terhadap kekuatan itu.
    Saat TBA datang ke lokasi, nampak beberapa bangunan telah berdiri kokoh, tetapi belum tertata rapi. Karena sedang dalam proses pembangunan pura.
    Di Jaba sisi, terdapat sebuah bangunan Bale Pasandekan dengan kondisi fisik setengah jadi. Sebelum melangkah ke Jeroan, ada sebuah kayu besar dibalut kain, dan di sampingnya ditempatkan sebuah sangku tempat tirta pembersihan, bagi krama yang akan memasuki Jeroan pura.
    Di Jeroan Pura nampak sebuah bangunan Bale Pesantian, dan beberapa bangunan semi permanen. Pun nampak beberapa palinggih berbahan batu cadas hitam, seperti palinggih Bhatara Wisnu, Padma, serta Palinggih Bala Samar dan beberapa  palinggih lainnya.
    Ketika itu tampak Jro Mangku sibuk melayani pamedek yang saat itu malukat, karena sebelumnya menderita penyakit yang tidak kunjung sembuh. Setelah semuanya selesai, Jro Mangku mengajak TBA, berbincang panjang lebar di sebuah tempat beralaskan tikar pandan. Sambil sesekali menarik nafas panjangnya, pria berjenggot lebat ini mulai bercerita.
    Ceritanya, sekitar tahun 2002, Jro Mangku menderita penyakit gagal ginjal. Semua usaha dan upaya telah dilakukan untuk kesembuhannya, baik dengan cara medis maupun non medis. Di tengah keputusasaannya itu, Jro Mangku datang ke Campuhan, bermaksud menghilangkan penat sekaligus stress yang dialami. Sesampainya di sana, Jro Mangku Alit yang sebelumnya bernama lengkap Gede Alit Adnyana ini, merasakan ketenangan dan kedamaian berada di Campuhan itu. Sampai-sampai sering tidak pulang ke rumahnya. Pria kelahiran tahun 1956 ini pasrah menyerahkan diri kepada Sang Pencipta. Jro Mangku setiap hari tidur beralaskan pasir beratapkan langit, tetapi Jro Mangku merasakan ketenangan dan kedamaian yang luar biasa.
    Beberapa hari berada di tempat itu, Jro Mangku merasakan perubahan. Sampai akhirnya, suatu malam Jro Mangku bermimpi melukat di sebuah taman yang sangat indah. Setelah itu, Jro Mangku mendapat pawisik, yang mana isinya adalah Jro Mangku diberikan tugas suci untuk membangun sebuah pura, yang selama ini pura itu sudah ada di alam niskala. “Dalam mimpi itu, tiang melihat sebuah pura besar dan sangat megah. Di sekitar pura itu, juga ada sebuah taman yang sangat indah, serta tiang mendengar pawisik “Cening tetep harus nongos deriki, sampunang kija-kija,” ujar suami Jro Mangku Istri Nyoman Merti menuturkan mimpinya itu.
    Menurut pawisik itu, kata bapak satu orang putri dan satu orang putra ini,  sudah saatnya pura di alam niskala itu, diwujudkan secara sekala, untuk kerahayuan jagat sekaligus sebagai tempat umat memohon berbagai anugrah, seperti pembersihan, pengobatan, dan sebagainya.
    Awalnya Jro Mangku tidak berani mendirikan pura, karena pura itu tepat berada di ujung ombak itu. Selanjutnya dirinya mendirikan Pura Taman Ayung, tak jauh dari tempat itu. Tetapi, tidak berselang lama pura itu goyang (terjadi pengusiran yang tidak manusiawi). Akhirnya Jro Mangku memutuskan untuk mendirikan turus lumbung di pinggir Campuhan Tukad Ayung itu. Namun, sebelumnya Jro Mangku tidak lupa memohon izin kepada Bendesa Adat Desa Kesiman.
    Beberapa hari setelah turus lumbung itu berdiri, entah dari mana mendapat informasi banyak krama ngaturang sembah bakti dan semakin hari jumlah pamedek semakin membludak. “Tiang sendiri tidak habis pikir siapa yang memberitahu ada pura di temapat ini,” jelas Jro Mangku seraya mengenang peristiwa itu.
    Anehnya, sebagian besar pamedek yang tangkil ke pura ini, terkabul permiphonannya,Tak pelak berita itu menyebar dari mulut ke mulut, sampai akhirnya jumlah  pamedek membludak. Awalnya lokasi pura ini berada di bawah dan apabila laut pasang palinggih turus lumbung itu sering terkena hantaman omabak. Tetapi uniknya, palinggih itu tidak bergeming sedikit pun. Sampai akhirnya ada proyek senderisasi, posisi pura ini pun diangkat ke atas seperti posisi sekarang ini. Alinggih yang ada sekarang ini hamper semua merupakan aturan pamedek. Terutama mereka yang terwujud keinginannya, seperti sembuh dari penyakit dan sebagainya.
    Krama yang tangkil ke pura ini, dengan berbagai tujuan. Mulai dari  mapinunas, malukat, hingga memohon anugrah taksu. Para penekun spiritual seperti balian paranormal sering datang ke tempat ini untuk berbagai tujuan.
    Pura yang piodalannya jatuh pada Purnama Kedasa ini, hingga kini terus menjadi sorotan masyarakat dari berbagai umat, kalangan serta status ekonomi yang berbeda. Karena banyak dari mereka yang merasakan dan membuktiakan kekuatan magis yang terpancar di tempat ini.

Baca lebih lengkap edisi 19 tahun 2009Reporter & Foto : Andiawan

Mrajan Kubon Karang Buncing Sibang

Picture
Penyatuan Sameton Arya Prabali  Kebo Iwa

Merajan Kubon Karang Buncing yang kini menjadi salah satu tempat penyatuan pasemetonan I Kebo Iwa. Kini telah menunjukan jati dirinya dengan berdirinya merajan dengan megah dan luas. Lokasinya di Banjar Sintrik, Sibang Kaja, Abiansemal, Badung. Dengan jumlah 110 KK menunjukan kebersamaan untuk saling mengenl dan mendekatkan diri dengan Bhatara Kawitan.  Inilah pasemetonan Arya Prabali Karang Buncing.

   
Menemukan Merajan Kubon Karang Buncing tidaklah sulit. Apalagi posisinya berada di jalan utama dan strategis jurusan Denpasar-Petang. Tepatnya di Banjar Sintrik, Sibang Kaja, Abainsemal, Badung.  Lokasinya persis di pinggir jalan utama. Pertama kali terlihat sebuah gapura yang sudah megah. Di tambah sebagai penunjuk pura dengan papan namanya menunjukan nama pura. “Merajan Kubon Karang Buncing”, Sibang Kaja, Abiansemal, Badung.
    Lokasi pura cukup luas dan dilengkapi dengan lokasi parkir yang memadai juga, sehingga tidak mengganggu lalu litas terlalu parah. Pura terdiri dari tiga mandala, jaba sisi, jaba tengah dan jeroan. Untuk mencarinya bisa dari utara, yaitu dari Abiansemal melintasi mambal, atau dari selatan melintasi Darmasaba, atau Peguyangan.
    Menurut Jro Mangku Karang, kondisi Merajan dulunya hutan cukup lebat, hanya gagundukan, turus lumbung. “Kondisinya sangat sederhana. Begitu juga lokasinya cukup sempit, tidak begitu terurus. Maklum sameton juga tidak begitu ngeh atau tahu akan kahyangan ini,” tutur Jro Mangku Karang yang mengaku sudah ngayah 60 tahunan.
    Sementara Guru Gede Suarsa salah satu panglingsir sameton Karang Buncing, dari Banjar Ambengan, Peliatan, Ubud, Gianyar menceritakan awal adanya merajan ini. Di dampingi  I Made Derik Jaya dari Banjar Gegaran, Baha, Mengwi, Badung, dulu perang kerajaan begitu akrab, tentunya perang kerajaan antara Klungkung dengan Mengwi ditabuh.
    Saat itu, kemungkinan banyak warga yang rarud atau mengungsi ke berbagai wilayah, termasuk salah satunya ke Sibang. Sampai sekarang pun terdapat tonggak sejarahnya berupa merajan. Ada yang rarud ke Nyelati, Denkayu, Abiansemal dan ke  Buleleng. Sementara di Sibang hanya lima (5) KK.
    Di sinilah (Sibang-red) sameton Karang Buncing ngajegan leluhurnya Kebo Iwa. Guru Gede Suarsa seorang pensiunan Kepala Sekolah Dasar, menceritakan jejak leluhurnya. Mulai tersebut bernama Karang Buncing, yang tidak punya keturunan. Karena ngebetnya ingin punya momongan, akhirnya Karang Buncing mohon anak di Blahbatuh yang dikenal dengan nama Pura Gaduh di Banjar Tengah.
    Karang Buncing yang sangat dikenal dengan berbagai bidang, salah satunya arsitek (sangging). Anak hasil permohonan di Pura Gaduh diberi naka Kebo Wariga, juga dikenal dengan nama I Kebo Iwa. Kebo Iwa juga menjadi sosok yang sangat tangguh, teguh, berwibawa, sakti, cakap dan kelebihan lainnya. Karena mempunyai sifat-sifat yang lebih dan tangguh, sampai didengar oleh Dalem dan dicari untuk mendampingi kerajaan. Akhirnya dijadikan adipati pihak kerajaan waktu itu yang berkuasa adalah kerajaan Gelgel dengan rajanya Dalem Waturenggong.
    Kebo Iwa pun sampai tidak mengambil istri yang disebut dengan I Kebo Teruna. Kebo Iwa juga menjadi benteng Bali, yang tidak mampu ditundukan oleh siapapun.
    Sampai akhirnya Majaphit ingin menundukan Bali. Tapi, sebelum mampu menaklukan Bali, harus berhadapan dulu dengan Kebo Iwa. Karena tidak akan diyakini mampu, sampai Majapahit mengutus patih terkenal Gajah Mada.  Singkat cerita, Gajah Mada sangat bernafsu menaklukan Kebo Iwa, sampai dia membuat strategi mengajak Kebo Iwa ke Jawa. Katanya, akan diberikan istri cantik.
    Hanya saja, Kebo Iwa sudah paham akan akal licik Gajah Mada (GM). Sampai di Jawa (Gunung Wilis) berbagai janji, dan pekerjaan diserahkan kepadanya. Sampai disuruh membuat sumur. Gajah Mada pun berniat membunuh Kebo Iwa, tapi tidak mampu. Semua yang digunakan untuk membunuh Kebo Iwa mental, karena keteguhannya.
    Sampai akhirnya Kebo Iwa bersabda, kalau ingin membunuhnya tidak sulit. Akhirnya rahasianya dibuka, Kebo Iwa pun dapat dibunuh. Layonnya tidak dibawa ke Bali. Hanya saja ada piteket kepada pertisentananya, kalau ingin bakti kepadanya, bawalah rohnya ke Bali, dan stanakan di masing-masing kahyangan sameton Karang Buncing. Karena itulah, sameton Karang Buncing di Sibang mendak Kebo Iwa ke Gunung Wilis Jawa Timur tepatnya di Kediri untuk distanakan di Merajan Kubon Karangbuncing, Sibang Kaja, Abiansemal, Badung

Baca lebih lengkap edisi 18 tahun 2009
Reporter dan Foto: Putu Patra

Pura Jagat Sari, Glogor Carik Denpasar

Picture
21 Pendatang Pembawa Kehidupan

 Sebuah Tugu di bawah Pohon beringin di Glogor Carik Denpasar, merupakan tonggak perkembangan masyarakat setempat. Berikut perkembangan zaman tugu tersebut dibuatkan bangunan lain dan menjadi pura Jagat Sari

    Kehidupan pada zaman dahulu kala jika ditelusuri akan menjurus pada kehidupan pada saat ini dan bahkan akan berkelangsungan pada waktu-waktu yang akan datang. Seperti misalnya babad-babad yang mencakup mengenai sejarah atau perkembangan kehidupan para leluhur seperi Pasek, Pulasari, Arya dan  lainnya akan terus berkelanjutan.
    Namun jika babad ini biasanya nyambung namun terkadang masyarakat Bali lebih melihat leluhurnya adalah seorang  yang mempunyai dedikasi tinggi pada zamanya. Lalu, bagaimana dengan orang-orang yang kecil yang saat itu adalah rakyat jelata? Hal inilah yang dipandang sebelah mata oleh kebanyakan orang.
    Mengenai perkembangan masyarakat terdahulu pula bisa diiktiarkan mengenai sebuah bangunan Pura. Semisal Pura yang satu ini. Pura Jagat sari di Banjar Glogor Carik, Desa Pomogan, Denpasar Selatan.
    Lokasi pura ini berada persis di sebelah timur daripada Supermarket Besar di Bali Carrefure. Selain itu lokasi pura ini juga dekat dengan Pura Candi Narmada sebagai stana Ratu Niang Sakti, yang dinyatakan anak daripada Ida Dang Hyang Nirarta. 
    Menurut penuturan Jro Mangku Pura, Jro Mangku Nyoman Rasna (69) Pura ini ada sebelum adanya masyarakat di Glogor Carik ini. Sebelumnya Jro Mangku tidak ada di lokasi (Pura), kemudian dengan informasi masyarakat setempat akhirnya ketemu juga dengan Mangku berbadan kurus ini.
    Dia langsung mengatakan jika inti sebenarnya siapa-siapa yang membangun pura dirinya tidak tahu. Karena awalnya sudah ada Tugu (palinggih kecil) yang ada di bawah sebuah pohon beringin. Entah siapa yang mendirikan tugu ini, padahal sebelumnya di daerah ini merupakan lokasi yang dipenuhi semak belukar (masih dalam kawasan hutan). Mengenai usia dari pohon beringin ini mungkin sudah ada sekitar seribu tahunan. Itu bisa dilihat dari kondisi dan ukuran daripada pohon ini.
    Awalnya, kata Mangku, ada pendatang yang ingin tinggal di wilayah ini. Pendatang itu adalah masyarakat dari Kerobokan. Dengan berjumlah sekitar tujuh orang. Di mana sebelumnya karena Bali masih berstatus kerajaan, mereka pun minta ijin kepada Raja Denpasar (Cok Pemecutan). Namun apa yang diinginkan ketujuh orang ini ternyata tidak sesuai atau semulus yang diduga. Padahal daerah ini adalah wilayah kosong. Oleh raja mereka diminta untuk membuat setra. Dan syarat adanya setra tentunya ada orang yang meninggal. Akhirnya merekapun pergi lagi meninggalkan kawasan semak belukar ini.
    Walaupun demikian ternyata Tuhan berkata lain. Mereka yang batal tinggal di Glogor Carik akhirnya balik ke desanya.
    Entah berapa tahun kemudian sekumpulan masyarakat ini membuat sebuah kesepakatan untuk datang kembali membuka lahan di tempat ini. Untuk diketahui ternyata ada seorang penduduk yang memiliki lahan namun tidak ditempati yang bernama Kaki Kajeng Rantang.

Baca lebih lengkap edisi 17 tahun 2009
Photo n Reporter : Budi Krista