Ida Pandita Mpu Wija Karmaniasa

Picture
Keluarga Kapetengan “tan Eling ring Raga”

Banyak cobaan yang diberikan Ida Bhatara kepada umat-Nya. Termasuk keluarga I Made Yasa yang kini mabhiseka Ida Pandita Mpu Wija Karmaniasa, tidak luput dari cobaan yang cukup berat. Pasalnya, kalau tidak mau malinggih, keluarga akan terus kapetengan. Sampai anggota keluarga benyah latig, ada yang ngantung raga,  Pandita sendiri tan eling ring raga. Berikut diceritakan.
    I Made Yasa, begitulah nama sederhana yang diberikan orangtuanya ketika lahir.  Yasa kecil, memang belum tahu apa-apa tentang alam niskala. Semua berjalana secara normal. Yasa kecil pun semakin dewasa untuk menatap hidupnya sesuai dengan kondisi keluarga yang dikatakan tidak ada apa alias hidup serba kekuarangan. Maklum di zaman dulu, apalagi di tahun enam puluhan, kehidupan serba sulit.
    Made Yasa memang lahir di zaman sulit, di tahun 1959. itulah kehendak Hyang Widhi. Singkat cerita, Made Yasa telah menginjak usia 30-an. Mulai umur tersebutlah ada sinyal untuk ngayah menjadi pemangku. Di balik tuntunan alam niskala, dia pun diguncang berbagai musibah. Salah satunya mengalami kecelakaan. Cobaan hidup tidak bisa ditolak memang, apalagi semua itu bukan kehendaknya. Musibah itu tidak masuk akal.
    “Masak kecelakaan satu truk ketika maajar-ajar, hanya tiang yang mengalami luka  serius, sampai salah satu anggota badan tiang patah, bahkan tidak bisa melakukan aktivitas,. Niki khan aneh, tidak masuk akal,” tutur Pandita Mpu Wija Karmaniasa mengenang musibah yang memberikan penderitaan.
    Karena itulah, jalan niskala pun ditempuh.  Selama mohon petunjuk secara niskala, atau matuwunan, diberikan petunjuk, ada sinyal untuk malinggih. Padahal di dalam keluarga, tidak pernah ada leluhur yang pernah malinggih. “Baru sekarang ada tuntunan agar malinggih, termasuk di sajebag Jagapati, baru dari sini adanya sulinggih,” imbuh Pandita dengan nada tenang.
    Tidak hanya sampai pada diri Pandita yang terus diberikan cobaan hidup. Keluarga pun tidak pernah henti diberikan cobaan. Biuta  di keluarga terus memberikan cobaan. Bahkan, anggota keluarga ada yang ngantung angga, tapi syukurnya ada saja yang mengetahui, sampai akhirnya tidak ada korban jiwa. Sementara Pandita sendiri, sampai berjalan tidak terasa apa-apa. “Kadirasa kambang batise majalan di tanahe, sekadi tan wenten tanah,” kata Pandita mengawali menjadi pemangku di Pura Gaduh Jagapati dengan pasrah.
    Lebih lajut,  ujar Padinta Mpu yang mengaku hanya tamatan SD, dengan terang-terangan mengaku di keluarga tidak ada apa-apanya. “Dasar tiang ten wenten napi-napi ring keluarga, tiang ikhlas mamargi, kalau tak mau malinggih cutet lakar wenten biuta tiada henti,” terang Pandita Mpu apa adanya.
    Itulah yang mengantarkan keluarga ini selalu dirundung sengkala, sampai semua anggota keluarga kutek, kapetengan, tan eling ring raga. Walaupun akhirnya menjalani titah Hyang Embang, agar diberikan jalan yang terang, serta diberikan tuntuan keselamatan. Hanya mengikuti jalan malinggih keluarga bisa terselamatkan, tidak ada jalan lain. Kalau menolak, jelas sudah tidak bisa. Karena Hyang Widhi sudah memberikan jalan, bahkan piteket, kalau tidak mau malinggih, seperti apa jadinya keluarga di sini.

Baca lebih lengkap di edisi 23 tahun 2009
Reporter dan Foto     : Putu Patra



Ida Pedanda Gede Telaga

Picture
Ciptakan sebuah Kedamaian

Berlatar belakang keturunan Wiku selama 14 tingkat tanpa putus ini memantapkan langkah Ida Pedanda Gede Telaga untuk memberikan sebuah penerangan dan kesejukan kepada krama dengan jalan yadnya
    Aktivitas di griya tentunya krama Bali bisa mengerti, di mana kesibukan selalu tampak di mana-mana, baik dalam petandingan banten maupun dentingan genta Sang Wiku di Merajan. Kesibukan inilah yang tampak ketika Wartawan TBA tangkil ke Griya Gede Telaga, Banjar Anggarkasih, Sanur. sebelum masuk griya yang ada di samping By Pass Ngurah Rai ini (tepatnya di samping Dealer Mobil dan dekat dengan Polsek Densel). Tampak sebuah patung gajah yang mencirikan sebagai tempat tinggal seorang wiku (Sulinggih). Mungkin krama yang hendak pedek tangkil nantinya tidak susah untuk mencarinya apalagi sudah dilengkapi dengan plang di depan griya.
    Dengan ramahnya yang empunya griya, Ida Pedanda Gede Telaga mempersilahkan TBA duduk, di mana masih ada penangkilan yang tentunya berkaitan dengan upacara upakara. Selanjutnya hal yang dinantikan tiba saatnya. Awalnya Ida Pedanda menyebutkan berita di TBA perlu penyempurnaan di mana struktur pemberitaannya tidak membodohi masyarakat dan mesti mendidik dengan memberikan reverensi sumber sastra yang jelas.
    Ida Pedanda mengawali kisahnya, dimulai sejak beliau walaka. Ida Pedanda Kelahiran 25 Desember 1938 silam ini selesai mengenyam pendidikan dasar (SR) pada tahun 1954 kemudian SMP tamat 1957 dan tamat SMU tahun 1959. karier menjalani kehidupan yang sesungguhnya dimulainya pada tahun 1959 itu, dia berangkat ke Jakarta guna mengeyam pendidikan yang lebih tinggi. Saat itu dia juga bekerja pada sebuah perusahaan swasta yang bergerak di bidang eksebisi perdagangan umum.
    Kemudian karier bisnis ini dilanjutkannya ke Surabaya sebagai kepala cabang pada tahun 1963 hingga 1970. Di Surabayalah Ida Pedanda menikah dan memiliki dua orang anak di Surabaya. Kemudian dia pun kembali ke asalnya  ke Bali pada tahun 1970. Sementara di Bali beliau aktif di bidang kemasyarakatan. Sebagai seorang tokoh masyarakat yang memang dipercaya sejak leluhurnya dulu, sebagai yang dituakan masyarakat.
    Ida Pedanda pada saat itu sempat menjadi Ketua LKMD (Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa). Dan dia tidak banyak menyebutkan kegiatan-kegiatan lainnya yang dilakukan untuk masyarakat. Namun pada intinya Peranda mengaku ngayah untuk masyarakat baik di bidang pengetahuan agama maupun hal yang lainnya. Karena Griya ini merupakan Griya Gede sudah barang tentu banyak sekali kegiatan masyarakat dipusatkan di sini.
    Ida Pedanda yang memiliki nama walaka IB Anom Astika ini, mulai mempelajari berbagai sastra Weda dan lontar-lontar agama (Agama Tatwa). Kegiatan belajar yang rutin dan serius dilakoninya dulunya ternyata membuahkan hasil yang manis. Ida Pedanda sebelum mediksa sudah mampu memberikan berbagai pendidikan agama dan bebantenan ke masyarakat yang memang memerlukannya. Pendidikan agamanya ini terus diterapkan hingga tahun 1980-an. Selanjutnya, apa yang dipelajarinya diterapkan di lapangan. Artinya, jika ada krama yang menanyakan masalah pembangunan Bali dengan Aspek-aspek Asta Kosala-kosali dan berbagai acuan sastra yang lainnya.
    “Kalau bidang politik Pedanda tidak mau turut larut di dalamnya, apalagi memasang plang segala,” ujarnya. Karena akan mengelompokkan masyarakat dan jika hal ini terjadi berarti griya mengajarkan hal yang kurang baik.
Baca lebih lengkap di edisi 22 tahun 2009
Reporter & Foto : Budikrista